Senin, 06 Juli 2009

Ahmadinedjad RAPS!

Ini ada video YouTube (editan) bagus tentang Ahmadinedjad yang lagi NGERAP!

http://www.youtube.com/watch?v=RdZKF8bDu6s

Have fun! Walaupun nggak dong liriknya (katanya sih, orasinya diedit biar jadi self-parody), tetep asyik dengerinya. Catchy gitu *

Oh ya, ini ada video dimana Bill O'Reilly melakukan blunder (on television, no less) dengan mengatakan kata-kata yang... hebat ** Linknya menuju ke versi Dance Remix-nya :

http://www.youtube.com/watch?v=5j2YDq6FkVE&feature=related


* DISCLAIMER : Saya dengan me-link video tersebut tidak bermaksud melecehkan Pak Ahmadinedjad dan ** Bill O'Reilly

Selasa, 30 Juni 2009

Kontradiksi, Salah Cetak dan Ketidakjelasan dalam Buku Pelajaran



Bila anda membaca buku materi pelajaran, terutama buku LKS (Lembar Kerja Siswa), anda akan menemukan pernyataan-pernyataan kontradiktif nan aneh seperti ini :

Penyimpangan Sosial Primer Adalah penyimpangan yang bersifat sementara atau temporer dan tidak berulangkali. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu hal. Contoh : Pada masyarakat Santri tinggalah orang yang gemar berjudi


Disitu dijelaskan bahwa Penyimpangan Sosial Primer adalah penyimpangan bona-fide, tak dilakukan lagi. Tetapi lihat contohnya; "...orang yang gemar berjudi". Bukanya 'gemar' dapat bersinonim dengan 'ingin, dan kemungkinan memang, melakukanya berkali-kali karena senang'?

Lalu lihatlah pernyataan berikutnya, "... ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu hal", dan lihatlah pernyataan di bagian Contoh; "Pada masyarakat Santri...". Apakah seorang yang tinggal dalam suatu lingkungan sosial dimana dalam norma setempat judi dilarang secara eksplisit (dan larangan ini didukung oleh institusi moral bernama agama) dan lingkungan dimana banyak agen penjaga norma serta agen pemberitahu perbuatan-perbuatan yang dilarang norma tersebut, bisa mungkin tidak tahu tentang larangan berjudi? Apalagi ada tambahan kata-kata "gemar berjudi". Artinya, orang tersebut berhasil melakukanya berkali-kali tanpa dijatuhi hukuman - saking banyaknya sampai bisa gemar. Ini santrinya santri gadungan atau gimana?

Anda juga akan menemukan pernyataan-pernyataan membingungkan. Ini saya beri tipe yang biasanya keluar :

a) Tipe 'Fancy Vocabulary'

Faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang BERDASARKAN MULTIDIMENSI adalah :


Nah, apa arti 'multidimensi' dalam konteks tersebut, atau arti Multidimensi secara keseluruhan? Apakah... dilihat dari banyak segi? Atau... melibatkan berbagai dimensi sosial, misalnya dimensi kebudayaan, dimensi politik dsb? Atau bahkan, melibatkan berbagai dimensi, dalam arti dimensi secara planar - misalnya 2D, 3D dan 4D? Jadi ada minimal 3 arti Multidimensi dalam konteks kalimat tersebut. Buku tidak berusaha menjelaskan. Mungkin ini dianggap sepele ya?

Juga, lihatlah pengunaan kata Multidimensi oleh penulis. Seolah penulis tidak mengerti juga definisi Multidimensi. Lihatlah kata 'Berdasarkan Multidimensi'. Ini seolah menunjukkan bahwa Multidimensi adalah suatu sumber, seperti berdasarkan buku karangan X.

Bukanya si pengarang bisa saja menuliskan pernyataan yang lebih tujeb point, misalnya "Dilihat dari berbagai segi" atau "dilihat dari segi sosial, segi politik dan segi yang lain". Si pengarang juga bisa saja menjelaskan kata Multidimensi itu artinya apa?


b) Tipe 'Definisi Tak Jelas'

2. Fungsi Laten (Agama)
Menurut Durkheim, fungsi laten yaitu fungsi yang dapat meningkatkan integritas masyarakat baik secara makro maupun mikro


Atau

...Ada 3 macam Resiprositas :
- Resiprositas Umum
- Resiprositas Berimbang
- Mekanis Pemerataan

Dalam contoh kesatu, entah karena kata-katanya yang tidak jelas banget, atau karena pemasukan kata 'makro' dan 'mikro', saya tidak paham apa fungsi Laten Agama itu. "meningkatkan integritas... secara makro maupun mikro" itu apa? Integritas makro itu apa, dan bedanya dengan integritas masyarakat secara mikro itu apa?

Dalam contoh kedua, tidak dijelaskan masing-masing macam Resiprositas. Pembaca hanya ditinggalkan nama-nama yang asing, yang tak didefinisikan.

c) Tipe 'Quotasi Tak Lengkap'

Robert Mac Iver dan C.H. Page,
Pranata sosial merupakan prosedur atau tata cara...
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
Pranata Sosial merupakan sistem norma...


Penquotasainya tidak lengkap. Harusnya juga dicantumkan nama, tahun karangan dan penerbit buku dimana pernyataan tersebut tercetak, bukan hanya nama orangnya. Saya paham ini agak eksesif, tapi bila buku-buku seperti inilah yang dijadikan 'Kitab Suci' para penganut Answerkeyism, setidaknya kualitasnya harus agak lebih bagus dong.

Bila hanya seperti itu, sulit untuk mengecek dan memverifikasi klaim yang diajukan.

d) Punktuasi dan Pengejaan

Kurva Penawaran (Suply)


Halah, mungkin ini seharusnya tidak saya masukkan, tapi kadang-kadang saya dan beberapa teman saya tertawa tentang kesalahan-kesalahan seperti ini. Percayalah, ada banyak sekali.

Diatas (dan seharusnya ada lebih dari 4 tipe) adalah yang saya maksud ketidakjelasan dan kontradiksi dalam buku refrensi. Mungkin sepele, tapi menemui kontradiksi-kontradiksi seperti itu ibaratnya seperti berlari, lalu tiba-tiba kaki tersandung batu. Ow.

Apalagi ada sebagian guru yang menganggap satu buku refrensi itu kitab suci - padahal, seperti semua buku refrensi/ sumber refrensi lainya, terdapat kesalahan manusiawi di sana-sini. Bahkan, frekuensi kesalahan di salah satu Kitab Suci Answerkeyism lebih tinggi dari biasanya.

____________________________________________________________________

Efek Dari Ketidakjelasan

Semua kengawuran diatas saya dapatkan hanya dari 1 buku. Ada banyak lagi sebenarnya. Jadi, apakah efek yang ditimbulkan ketidakjelasan-ketidakjelasan tersebut?

Pertama, Ketidakjelasan-ketidakjelasan Dan Kontradiksi memaksa murid untuk Menghafal
Apakah murid sebenarnya paham? Tidak. Dia harus mencari dari sumber yang lebih komplit, seperti Internet, bila ingin benar-benar paham. Sayangnya, Internet tidak dapat diakses oleh semua murid, sebagian murid juga malas mengakses Internet. Bahkan di Internet pun, menjadi susah memverifikasi klaim-klaim karena quotasi-quotasinya tidak jelas, pengejaanya salah bahkan.

Apakah efek bila murid hanya menghafal, hanya menghafal? Pengetahuanya dangkal, hanya bisa mengulangi pernyataan-pernyataan kosong yang sebenarnya tidak ia pahami. Sebutkan macam-macam Resiprositas! Resiprositas Umum, Resiprositas Berimbang, Mekanis Pemerataan. Lalu ditanya - artinya apa? Nggak ngerti.

Apalagi, di keadaan ini tidak ada pilihan lain. Harus dihafal.

Kedua, Tidak masuk Akal
Kita bisa ngapalin banyak sekali materi, tapi bila materi yang baru dihafalkan tidak sesuai dengan materi yang dulu dihafalkan, padahal berasal dari Kitab Suci yang notabene tak pernah salah, otak kita akan meledak.

Ketiga, Kontradiksi dan (hehe) Perang Batin dalam menjawab Pertanyaan

Bayangkan ini. Anda sedang mengerjakan tes tentang IPS Sosiologi, dan anda menemukan soal 'Berikan contoh penyimpangan sosial Primer!' Guru anda adalah penganut agama Answerkeyism moderat. Apa yang akan anda jawab?

Apakah mengikuti buku dengan menjawab persis : "Di masyarakat santri, ada orang gemar berjudi"? Atau menjawab sesuatu yang garis besarnya relatif sama, seperti : "Di masyarakat yang patuh hukum, ada orang yang gemar korupsi" atau "Di masyarakat yang toleran terhadap agama, ada seorang fundamentalis"?

Jawaban diatas, bila anda membaca hampir semua buku lain tentang Sosiologi yang di dalamnya ada 'Pelanggaran/ Penyimpangan Norma Primer', berkontradiksi dengan apa yang sudah anda baca dari sumber-sumber lain (yang, hopefully, lebih terpercaya dan bebas dari anomali). Dari sini muncul satu lagi alternatif jawaban, yaitu menjawab yang menurut sumber-sumber lain benar, seperti

"Suatu saat Andi, yang hidup di masyarakat santri, mencoba minum bir. Ia tidak melakukanya lagi, mungkin karena kapok setelah dihukum atau karena dia tahu itu tak sesuai dengan norma yang berlaku di lingkunganya"

Ini tidak sesuai dengan 'keyakinan' guru anda, karena jawaban anda secara garis besar tak sesuai dengan buku. Jadi anda pilih yang mana?

Keempat, Bingung dalam Tindakan
Orang beneran, di masyarakat santri yang salih, melakukan judi berulang-ulang dengan terang-terangan. Setelah 2-3 kali melakukan, santri lain bareng-bareng melaporkanya ke Polisi. Dia ditangkap dan dipenjara, pembelaanya ditolak. Pembelaanya?

"Saya lihat di buku pak, katanya ini cuma pelanggaran norma primer yang akan diampuni pak...".


Oke, saya tahu bahwa sebagian besar orang tidak berbuat sesuatu hanya karena sebuah buku menganjurkan, tapi ada kemungkinan. He, mungkin saya terlalu paranoid atau membesar-besarkan masalah disini.

Kelima, Opini tentang Sekolah
Opini tentang sekolah akan terpukul lagi. Setelah dibombardir Tugas Pabrikan dan Filler, murid dihadapkan pada keanehan-keanehan yang oleh gurunya disebut sesuatu yang sahih, karena berasal dari Kitab Suci Answerkeyism.

Oke, dulu kita diberi tugas yang gak ada gunanya, disuruh ngapalin berton-ton materi, sekarang kita disuruh hafalin hal-hal yang gak masuk akal. Gitu ya sekolah itu?

Dari word of mouth, opini tentang sekolah akan bocor ke anak-anak yang baru masuk SMP, SMA atau bahkan SD, dan anak-anak jalanan. Sekolah nantinya harus dipaksakan.

____________________________________________________________________

Mengapa?

Saya mempunyai beberapa hipotesa mengenai mengapa ada ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kontradiksi dalam sebagian besar buku referensi sekolah.

1) Absence of and/or Poor Proofreading - Tidak ada Proofreading/ Proofreading cacat

Proofreading adalah suatu proses dimana seorang proofreader membaca cetakan terakhir suatu buku (cetakan buku yang nantinya akan dicetak dan dipublikasi) dan mengoreksi kesalahan dalam cetakan tersebut.

Koreksi biasanya meliputi koreksi kesalahan dalam punktuasi, pengejaan dan struktur kalimat, tetapi bisa juga mencakup isi. Di abad 15-19, ini sangat penting dan beberapa pengarang telah terkena aksi (hukum) dan didenda karena tidak mengoreksi cetakanya berdasarkan koreksi si proofreader.

Karena pada buku-buku refrensi (terutama LKS), banyak kesalahan pengejaan dan struktur kalimat, kapitalisasi dan kesalahan isi dan kontradiksi seperti diatas, maka simpulan saya adalah bahwa tidak ada proses proofreading atau proses proofreading berlangsung tergesa-gesa atau si proofreader kurang teliti, atau bahkan kombinasi dua terakhir. Tentu ini bukan maksud editor, tapi memang terjadi.

2) Low Budget - Biaya Produksi Rendah

Disini saya tidak ingin menuduh siapapun, apalagi saya tidak punya bukti. Saya ingin meluruskan hal tersebut sebelum saya kena kasus kayak Prita dan RS Omni. Sekali lagi, ini hanya hipotesa.

Mungkin karena anggaran pendidikan rendah atau karena sebab musabab yang lain, si editor tidak bisa mengeluarkan, istilah saya, produk terbaik. Mungkin karena ingin memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya (wow, saya seperti orang aneh yang sedang mengusung 'teori' konspirasi tentang kapitalisme), hal-hal sepele seperti proofreading terlewatkan.

3) Rushed Product - Tergesa-gesa

4) Non-edited Copypasting - Copy Paste
aewewd4
Hipotesa keempat, adalah bahwa sebagian editor dari sebagian buku refrensi mengutip plek persis dari buku lain yang lebih 'tinggi' tanpa mengedit bahan agar sesuai dengan target audience-nya, murid sekolah.

Lihatlah contoh Quotasi tidak Lengkap. Quotasi-quotasi tak lengkap macam ini banyak terdapat di buku-buku perguruan tinggi, terutama yang lawas-lawas (biasanya cuma dicantumkan nama pengarang dan tanggal penulisan tesis/ buku - misalnya Harding et al, 1978). Ini dilakukan untuk mempersingkat waktu, dan sah-sah saja, karena target audience adalah mahasiswa yang tertarik akan subyek tersebut dan kemungkinan sudah familiar dengan nama-nama pengarang dan buku mana yang dimaksud.

Juga lihat contoh Definisi Tak Jelas dan Fancy Vocabulary. Definisi-definisi dan kata-kata macam itu biasanya disuguhkan pada mahasiswa/ umum dalam buku 'serius' tentang subyek yang dipelajari. Ini dilakukan karena, menurut penulis, target audience telah memiliki kapabilitas mental dan pengertian dasar tentang konsep yang sedang dibicarakan. Seperti, misalnya, pada buku tentang 'transkripsi dan pelipatan protein X', anda tidak akan menemui didalamnya definisi menyeluruh tentang gen itu apa, transkripsi itu apa dsb.

Pertanyaanya - mengapa tidak diedit? Mungkin karena ketiga faktor diatas (i.e. Biaya Produksi Rendah, Tergesa-gesa dan Tidak ada Proofreading). Mungkin karena sebagian editor itu Profesor-profesor yang terbiasa mengajar mahasiswa. Atau mungkin karena malas. Saya tidak tahu.

____________________________________________________________________

Sebagai kata akhir, mungkin perlu dimasukkan bahwa entri ini mungkin hanya suatu Argument from Incredulity. Saya mungkin melakukan rant hanya karena saya sendiri tidak paham. Lagipula, editor dan pengarang buku juga manusia.

Seperti biasa, silakan di-komen. Coba terus, soalnya Blogspot kayaknya fungsi komenya agak buggy.

Senin, 01 Juni 2009

Tugas Pabrikan



Tipe tugas yang paling banyak tercetak dalam buku tugas dan lembar-lembar tugas saya adalah tugas ABC-an dan Isian. Heranya lagi, tugas-tugas itu pertanyaanya hampir sama semua. Untuk satu pelajaran, soal itu-itu saja yang keluar - soal generik seperti, untuk IPS, "Apa yang disebut Ketenagakerjaan?". Soal itu diulangi sebanyak 24 kali dalam satu bulan, dalam satu kumpulan soal rata-rata muncul 3-4 kali. Jawabanya pun selalu sama - saya kadang memberikan variasi disana dan disini, tapi nilainya selalu kurang (Maklum, guru IPS saya penganut Agama Kunci Jawaban, tapi aliran yang agak moderat). Kadang, untuk mempersingkat waktu, saya cantumkan halaman berapa dalam buku LKS yang memuat jawaban soal tersebut.

Inilah salah satu contoh penyalahgunaan tugas tipe dua, pengeluaran Tugas Pabrikan.

Tugas Pabrikan

Tugas Pabrikan adalah tugas generik. Tugas yang itu-itu saja - tak kreatif, generik, dari satu tugas dengan tugas yang lain dan dari satu pertanyaan dengan pertanyaan yang lain susah dibedakan. Tugas ini juga bisa disinonimkan dengan tugas dari buku-buku kumpulan soal yang berkualitas rendah.

Tak kreatif, dalam arti 'Tugas Fotokopian' - mencetak dari satu lebar buku ke lembar yang lain, dalam buku sama. Jawabanya pun sama, tentunya - hanya rehash dari jawaban-jawaban yang sudah tercantum di buku. Seorang yang melakukan tugas-tugas mendapat impresi bahwa soal-soal dibuat seperti kode agar gampang dikoreksi komputer - "Apa pengertian Sosiologi?";;"Ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia"=;"Ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia"=. Tidak pernah mengeluarkan soal-soal yang benar-benar 'memaksa' murid untuk berpikir keras dan berkreasi, atau berdiskusi dengan sesama murid.

Tugas Pabrikan juga cenderung tidak menghargai kreatifitas. Bisa saja, seorang murid memilih untuk berkreasi dan memberi variasi pada jawabanya, atau bahkan mengargumenkan secara pandang lebar ide-idenya, dengan disertai mengapa ia mendukung ide itu, tapi nilainya sama dengan murid lain yang hanya menjiplak jawaban atau bahkan yang hanya mencantumkan nomor halaman LKS. Ingat Guru, sebagian besar murid hanya menambah sesuatu bila tambahan tersebut disertai tambahan nilai, atau keuntungan lainya.

Repetitif, dalam arti tidak ada variasinya dari soal dengan soal lainnya. Pertanyaanya sama. Bentuk soalnya pun generik, kalimatnya hanya perlu digganti satu kata untuk setiap soal berbeda - "Sebutkan x" atau "Apa definisi x".

Ini tidak dipermasalahkan bila pertanyaan repetitif (dalam bentuk repetitif) dikeluarkan beberapa kali oleh guru, tapi bila pertanyaan repetitif muncul beberapa kali dalam satu paket soal, ini sudah keterlaluan. Jawabanya selalu sama - bahkan untuk isian - yang notabene jawabanya bebas, asal secara general ada kaitan dengan jawaban yang benar - jawabanya sama dengan ABC-an, bahkan untuk pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai beberapa alternatif jawaban - Hampir setiap subyek IPS dan IPA (yang selalu berkembang) terutama Sosiologi, Sejarah (yang beda interpretasinya bagi setiap kelompok, dan buku) dan Politik.

Satu lagi kecenderungan adalah bahwa Tugas Pabrikan sering diberikan dalam jumlah yang buanyak. Ini sepertinya sudah konsekuensi tak terhindarkan.

Salah satu dari sedikit keuntungan Tugas Pabrikan adalah bahwa tugas macam ini bisa dibuat sangat banyak pada kurun waktu yang relatif singkat, dengan menyelipkan banyak pertanyaan repetitif dan pertanyaan generik. Apalagi, waktu penggarapan oleh murid relatif singkat dan nilainya biasanya bagus (bukan karena penguasaan materi, tapi karena menghafalkan soal), sehingga bisa memberi kesan kepada guru dan orang tua bahwa muridnya pintar. Inilah alasan mengapa Tugas Pabrikan sering digunakan untuk padding.

Konsekuensi



Saya rasa analogi 'Pabrikan' tepat. Tugas bagaikan produk akhir suatu pabrik murahan tapi pabrik dimana jam pekerjanya diregulasi secara ketat. Tugas macam ini mudah dan cepat produksinya, tapi kualitasnya rendah dan hampir identik satu dengan yang lain. Orang yang 'mengkonsumsi' tugas tersebut tidak mendapat tambahan ilmu - justru bosan.

Banyak konsekuensi bila suatu pihak, misalnya produsen buku, atau guru terus menerus mengeluarkan tugas semacam ini :

  • Kebosanan
Kebosanan adalah salah satu masalah utama yang dihadapi oleh murid dalam mencari ilmu. Rata-rata volum kebosanan dalam suatu kelas Indonesia melebihi volum yang dianjurkan untuk pelajaran efektif - makanya, murid sulit menerima pelajaran dan cenderung melakukan hal untuk menghindari kebosanan. Apalagi bila ditambah Tugas Pabrikan yang banyaak. Murid kemungkinan besar overdosis kebosanan. Ini bisa menyebabkan penyakit kronis bernama "Boring Classroom Syndrome" yang menyebabkan otak mematikan dirinya sendiri (untuk mencegah Cerebral Hemorrhage) dan menolak menerima pelajaran.
  • Stereotyping
Penelitian menunjukkan bahwa murid yang menerima banyak Tugas Pabrikan akan menganggap bahwa SEMUA kegiatan mencari ilmu ujung-ujungnya itu menggarap tugas berton-ton. Intinya, memberi kesan bahwa menuntut ilmu itu membosankan. Parahnya lagi, si murid akan memberitahu ke teman-temanya, dan mereka akan menganggap menuntut ilmu itu membosankan. Satu bagian murid akan malas sekolah.

Terus menerus... sampai suatu saat nanti, bila sistem pendidikan macam ini tidak diganti, sekolah harus membayar murid untuk menuntut ilmu. Indonesia akan kehabisan ilmuwan.
  • Misidentifikasi
Tugas Pabrikan itu sulit dibedakan dengan Tugas Padding. Bila terlalu banyak Tugas Pabrikan, murid akan lama-kelamaan malas menyelesaikan tugas apapun. Apalagi, karena banyaknya Tugas Pabrikan, guru sulit meluangkan waktu untuk mengoreksi tugas, dan ini memperkuat anggapan tersebut.
  • Menyalahi Fungsi Tugas
Tugas pada intinya dikeluarkan karena guru ingin muridnya belajar untuk lebih lama dan lebih mendalam. Tugas Pabrikan penggarapanya cepat. Murid hanya perlu membaca sedikit - intinya menyalin. Dangkal sekali. Apalagi, karena soal repetitif (dan saya punya satu guru yang justru menganjurkan ini), murid hanya perlu menghafal soal dan jawaban default! Ini jelas-jelas berlawanan dengan tujuan belajar mengajar. Murid tidak ditambah ilmunya, tapi ditambah hafalan rentetan katanya.

Lagi-lagi, ini berpartisipasi dalam memperkuat stereotip murid bahwa menuntut ilmu pada intinya hanya menghafal soal dan jawaban.
  • Membunuh Kreatifitas dan Rasa Ingin Tahu
Salah satu problema paling besar yang dihadapi semua pengajar dan institusi pengajaran di dunia adalah bagaimana menstimulasi rasa ingin tahu (Sense of Wonder) dan Kreatifitas dalam setiap murid.

Sepertinya Indonesia terbalik dalam hal ini. Tugas Pabrikan jelas membunuh dan tidak menghargai kreatifitas. Tugas Pabrikan (dan hampir seluruh faset institusi pengajaran formal di Indonesia) membunuh secara sistematis rasa ingin tahu. Orang mendapat kesan bahwa Institusi Pengajaran Formal di Indonesia tujuanya menghasilkan lulusan yang hanya bisa menghafal fakta, tapi tidak dapat menerapkan fakta tersebut dan tidak bisa mengembangkan fakta tersebut.

2 penyalahgunaan tugas diatas adalah salah satu cacat utama dalam tubuh pendidikan Indonesia. Dalam entri berikutnya, saya akan coba memberikan solusi...

Sabtu, 09 Mei 2009

Tugas dan PR 'Padding'

Tugas adalah, secara lebar, segala sesuatu yang diberikan guru kepada murid untuk dikerjakan di sekolah. Semua yang diperintahkan oleh guru untuk dikerjakan murid - dari menyapu, berhenti bicara sendiri, istirahat - adalah tugas. Tugas ini harus dikerjakan murid secara tuntas -atau sesuai keinginan guru - lalu murid wajib melapor ke guru dan memperlihatkan hasil tugas. Tugas Sekolah adalah tugas yang harus dilakukan di sekolah dan biasanya berhubungan dengan pelajaran. PR adalah tugas sekolah yang dikerjakan di rumah.

Tugas Sekolah biasanya diberikan untuk menguji murid tentang suatu pelajaran dan memperlebar pemahaman murid, serta sekalian untuk belajar. Untuk mengerjakan PR dan Tugas, bukankah murid harus membaca buku?

Ada 2 cara utama guru menyalahi fungsi tugas dan PR, dalam entri ini akan dibahas mengenai 'Tugas Padding'.

Tugas Padding
/ Tugas Filler



Guru menggunakan tugas hanya sebagai 'filler' atau dalam istilah film, 'padding'.

Padding adalah teknik dimana seorang produser memasukkan atau memanjangkan suatu adegan yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan, dan/ atau tidak penting bagi alur cerita. Misalnya, seorang produser memasukkan gambar gunung untuk terlalu lama atau adegan bicara yang sebenarnya tak perlu dan berjalan lama. Ini tujuanya agar filmnya atau produksinya itu jadi lama, atau memenuhi quota waktunya. Di Indonesia, alat 'padding' paling efektif adalah iklan. Saya pernah melihat suatu film yang sebenarnya hanya sekitar 40 menitan, tapi menjadi 1 jam karena iklan.

Bagi sebagian guru, tugas sekolah adalah padding yang paling baik. Tugas atau PR ini tidak penting bagi 'alur' pendidikan. Quotanya adalah jam pelajaran, atau dalam konteks PR, quotanya adalah 'Jumlah PR yang Harus Diberikan/ Semester' (Biasanya banyak PR ini yang diberikan menjelang atau sesudah Ujian Semester). Alokasi jam pelajaran standar untuk satu pelajaran dalam sekolah saya adalah sekitar 45 x 2 menit.

Untuk pelajaran 'sampingan' seperti TIK, Seni Rupa dan Seni Musik, alokasinya 45 menit. Guru mau tidak mau harus memenuhi quota ini, dan bukanya menerangkan lebih lanjut, malah memberi tugas padding. Guru lalu biasanya melakukan sesuatu yang baginya mengisi waktu, seperti main HP. Guru Seni Rupa saya sering memberi tugas LKS untuk menghabiskan 30 menit terakhir pelajaran. Malahan, salah satu guru IPA di sekolah saya hanya memberikan tugas, tidak pernah mengajar. Di kelas, gurunya dandan dan main HP. DANDAN DAN MAIN HP. Contoh terakhir adalah penyalahgunaan tugas yang paling biadab!

Ciri Tugas Padding

- Seringkali, tugas-tugas padding ini membutuhkan waktu penggarapan yang sangat panjang. Misalnya, mengerjakan suatu tugas yang menyuruh untuk me-list semua alasan mengapa kau menyukai X, atau me-list semua yang telah kamu lakukan hari ini yang kemungkinan bernilai artistik. Atau mengerjakan buku halaman sekian-sampai-sekian. Ini bukan ciri mutlak, banyak tugas biasa yang panjang tapi bukan tugas padding.

- Tugas adalah Tugas 'Fotokopian'. Tugas ini hanya mewajibkan murid untuk menyalin data. Misalnya, 'Sebutkan 3 ciri Sistem Politik Sosialisme!' dan ciri tersebut harus berasal dari buku, maka secara otomatis yang dilakukan murid hanya memfotokopi bagian buku ke bagian yang lain. Terutama pada guru penganut Agama Kunci Jawaban versi fundamental. Ini juga berlaku untuk PR. Tugas macam ini tidak mengajari murid apa-apa, karena yang perlu dilakukan murid hanya menyalin tanpa berpikir.

- Tugas diberikan pada akhir jam pelajaran. Atau pada tengah jam pelajaran, lalu guru mondar-mandir diluar atau main HP - Sibuk Sendiri. Namanya juga padding.

- Guru tidak merespons bila ditanyakan tentang tugas atau hanya mengatakan "Lihat di Buku!" atau variasinya.

- Tugas tidak dinilai, atau pada pelajaran berikutnya dinilai tetapi 'nilainya nggak dimasukin karena mengecewakan'. Dalam versi PR, PR tidak disuruh ditumpuk, atau ditumpuk lalu tidak dikoreksi. Variasi lain adalah tugasnya dikoreksi hanya dengan menandatangani buku atau halaman.

Tugas Padding itu sangat tidak perlu dan menghabiskan waktu. Tugas Padding tidak memajukan pemahaman murid, karena intinya hanya menyalin. Lebih bagus guru menerangkan sesuatu (bahkan yang tidak berhubungan dengan pelajaran) untuk mengisi waktu luang.

Lagipula, banyak murid yang tahu tugas mana yang tugas padding, dan hasilnya tugas tersebut tidak diggarap dengan baik, atau bahkan tidak diggarap sama sekali. Bila guru memberikan terlalu banyak tugas padding, maka murid akan menganggap semua tugas adalah tugas padding dan tidak menggarap semua tugas dengan serius.

Sabtu, 02 Mei 2009

Pertanyaan Anda... Bodoh!

Carl Sagan dalam bukunya 'The Demon Haunted World : Science as a Candle In The Dark' mengatakan :
Every now and then, I'm lucky enough to teach a kindergarten or firstgrade class. Many of these children are natural-born scientists - although heavy on the wonder side and light on scepticism. They're curious, intellectually vigorous. Provocative and insightful questions bubble out of them. They exhibit enormous enthusiasm...

But when I talk to high school seniors, I find something different. They memorize `facts'. By and large, though, the joy of discovery, the life behind those facts, has gone out of them. They've lost much of the wonder, and gained very little scepticism... they're willing to accept inadequate answers...
(Kadang, saya mendapat kesempatan untuk mengajar anak TK atau anak Kelas 1. Banyak dari anak-anak ini adalah ilmuwan alami - mereka gampang kagum, meski skeptisisme mereka agak sedikit. Mereka rasa ingin tahunya besar. Mereka menanyakan pertanyaan - pertanyaan yang 'dalam' dan mencerminkan rasa ingin tahu mereka. Mereka menunjukkan antusiasme yang besar.

Tetapi, ketika saya berbicara dengan anak SMA senior, saya menemukan sesuatu yang beda pada mereka. Mereka menghafal fakta, tetapi kebanyakan kekaguman mereka terhadap fakta tersebut sudah hilang dan skeptisisme mereka tak bertambah. Keingintahuan mereka sudah habis. Mereka sudi menerima jawaban yang tidak jelas.)

Carl Sagan lalu menanyakan apa yang terjadi diantara TK dan SMA, yang bisa menghilangkan keingintahuan dan kekaguman mereka terhadap ilmu. Salah satu penyebabnya adalah konsep 'Pertanyaan Bodoh'.

Pertanyaan Bodoh adalah konsep yang dianut sebagian guru, juga sebagian orang tua bahwa sebagian pertanyaan yang diajukan anak, terutama yang kelihatan simpel (i.e. mengapa bumi bulat? atau apa arti kata X?) itu 'bodoh' dan tidak patut dijawab dengan jawaban yang memuaskan. Ini, kata mereka yang menganut konsep ini, adalah cara untuk medidik anak agar tidak mempermalukan diri mereka. Masyarakat Indonesia memang tidak senang menjawab 'Pertanyaan Bodoh', tetapi sebagian masyarakat dunia mengorbankan banyak waktu dan uang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sepele tersebut.

Masalahnya adalah bahwa semua pertanyaan adalah ungkapan keingintahuan, termasuk pertanyaan bodoh.
Bila seorang guru menjawab pertanyaan dengan cara yang offhand - misalnya dengan mengatakan "Pertanyaanya si X bodoh!" (biasanya diikuti gelak tawa siswa lain) atau variasinya (eg. "Emangnya Bumi mau kotak apa?") - maka secara langsung si guru telah mengikis rasa ingin tahu semua murid di kelas dengan membatasi apa yang bisa ditanyakan dan menanamkan bahwa bertanya adalah suatu 'blunder' sosial. Pertanyaan tersebut dan pertanyaan serupa seterusnya dilabel sebagai 'pertanyaan bodoh' dan orang yang menanyakan adalah bodoh pula. Murid menjadi takut menanyakan sesuatu karena takut dilabelkan murid bodoh. Rasa keingintahuan yang rendah jelas sangat menghambat proses belajar - terutama diskusi.

Masalah lain adalah batasan pertanyaan mana yang dianggap bodoh.
Sebagian guru menganggap pertanyaan yang jawabanya simpel dan seharusnya sudah diketahui murid itu bodoh - tetapi kadang murid yang menanyakan pertanyaan tersebut kurang jelas atau ingin jawabanya dikembangkan. Lagipula, sebagian pertanyaan yang dianggap bodoh sebenarnya jawabanya sangat kompleks, bahkan belum diketahui. Mengapa rumput hijau? Karena klorofil. Tapi mengapa tumbuhan punya kloro-(hijau) fil, bukan punya merahfil? Pertanyaan anda bodoh.

Yang paling parah adalah guru-guru yang menganggap semua pertanyaan yang jawabanya tidak diketahui mereka sendiri adalah pertanyaan bodoh. Mereka melontarkan mantra sakti "Pertanyaan Anda Bodoh" sebagai pelindung ego mereka sendiri dan alasan untuk tidak mencari jawaban yang benar atas pertanyaan tersebut. Guru macam ini kebanyakan juga penganut agama Kunci Jawaban dan pemercaya bahwa guru itu semacam 'ras terpilih' yang tidak boleh, tidak bisa salah. Bukankah pandangan ini sudah dihilangkan sejak Orde Baru runtuh? Guru boleh salah. Guru juga manusia. Tindakan guru menutup-nutupi ketidaktahuanya dengan retorika 'Pertanyaan Bodoh' adalah tindakan usang dan malah menurunkan rasa hormat murid terhadap guru.

Saya rasa bahwa semua pertanyaan yang diajukan murid harus dijawab guru, betapapun bodohnya. Guru bisa menjelaskan setahu mereka, dengan tambahan "Setahu saya..." agar murid paham bahwa ini bukan jawaban terakhir, dan kemungkinan terpacu untuk mencari jawaban lebih lengkap. Atau guru bisa mengatakan secara jujur "Saya tidak tahu" kalau bisa, juga menambahkan "Nanti saya cari di buku referensi".

Kata Carl Sagan :
There are naive questions, tedious questions, ill-phrased questions,
questions put after inadequate self-criticism. But every question is a cry to
understand the world. There is no such thing as a dumb question.

Dan saya setuju dengan dia.

Sabtu, 25 April 2009

Answerkeyism - Agama Kunci Jawaban

education
Suatu saat setelah ulangan, teman saya menanyakan kepada guru Seni Rupa :
"Bu, kok jawaban saya disalahkan?"

Guru Seni Rupa lantas menjawab :
"Memang begitu kok mas. Di kunci jawabanya nggak ada jawaban begitu."

Teman saya membalas :
"Memang Bu, tetapi bukankah Batik adalah salah satu contoh kebudayaan Indonesia yang mendunia?"
Jawaban guru :
"Tapi nggak ada di kunci jawaban dan juga nggak ada di buku. Jawabanya cuma 2, Lagu Rasa Sayange atau Gamelan."

Memang, di LKS tidak tercantum apa-apa tentang Batik sebagai 'Kebudayaan Indonesia yang Mendunia' - saya rasa editor kunci dan LKS hanya mencantumkan 2 contoh agar pembaca mendapat gambaran tentang kebudayaan apa saja yang 'mendunia' dan bukan dimaksudkan sebagai satu-satunya (dua-duanya?) jawaban. Sayangnya, sebagian guru berpikiran sempit di sekolah saya (dan saya rasa, sebagian guru berpikiran sempit di seluruh Indonesia).

Inilah yang saya sebut
'Agama' Kunci Jawaban, atau tepatnya, kultus Kunci Jawaban.
Seperti hampir semua agama (dan kultus), agama Kunci Jawaban mempunyai suatu figur Tuhan - tidak lain dari Kunci Jawaban yang dikasih kepada guru oleh pembuat buku, dan yang kadang terselip di halaman belakang LKS. Sepertinya editor buku/ kunci jawaban tidak bermaksud kunci jawabanya dijadikan semacam Tuhan, tapi begitulah agama Kunci Jawaban. Heh, mendewakan sesuatu yang seharusnya tidak didewakan.


Dan, agama ini mempunyai Doktrin - 'The Way of the Kunci Jawaban' :
  1. Kunci Jawaban mempunyai monopoli kebenaran, dan monopoli jawaban benar. Semua jawaban selain yang tercantum di kunci jawaban adalah Bid'ah - Inggrisnya 'Heresy' - dan tentunya salah.
  2. Penganut Agama Kunci Jawaban mempunyai 2 kitab yang sah, Kunci Jawaban murni (Versi Raja Koplak) dan Kunci Jawaban dari buku (LKS dsb.). Masih ada perdebatan tentang mana yang lebih benar, tetapi mayoritas penganut mengakui Kunci Jawaban Versi Raja Koplak adalah yang paling benar. Bila suatu soal tidak memiliki jawaban di satu kitab, cari di kitab lain. Kedua Kunci Jawaban senantiasa diupdate mengikuti soal tapi sering terjadi konflik antara kedua kitab tersebut.
  3. Penganut agama Kunci Jawaban wajib mengoreksi semua soal berdasarkan kitab Kunci Jawaban. Penganut agama Kunci Jawaban juga wajib membujuk orang lain untuk melakukan hal yang sama. Untuk pertunjuk mengoreksi, ikuti doktrin no. 1
  4. Penganut agama Kunci Jawaban dilarang keras memikirkan alternatif jawaban selain yang ada di kunci jawaban. Ini adalah Bid'ah yang hukumanya paling parah.
  5. Penganut agama Kunci Jawaban wajib membungkam semua yang memikirkan alternatif jawaban dan semua yang tidak mengikuti agama Kunci Jawaban.

Penganut Agama Kunci Jawaban percaya bahwa agama mereka akan memberikan pemahaman sempurna tentang dunia kepada murid mereka. Buktinya, banyak murid yang berhasil menempuh ujian setelah membaca Kitab mereka (OOC : ini namanya 'Circular Reasoning'). Karena Kunci Jawaban mereka sudah memberikan semua jawaban, untuk apa cari jawaban lain? Lagipula, agama Kunci Jawaban melarang pikiran alternatif. Orang yang tidak mengikuti agama Kunci Jawaban akan tersesat karena banyaknya alternatif jawaban yang ada.

Soal yang paling sering diberikan oleh para penganut Agama Kunci Jawaban adalah soal ABC-an. Mungkin sang Penganut akan memberikan soal isian, tetapi ini hanyalah soal ABC-an tanpa ABC-an. Jawaban isian tersebut harus persis seperti jawaban ABC-an yang relevan.

Pada prakteknya, agama Kunci Jawaban membatasi 'free thinking', menekankan pada hafalan dan sangat rawan kecurangan. Orang-orang penganutnya kebanyakan kolot, tidak imajinatif, mempunyai toleransi rendah dan bila dihadapkan kepada persoalan sebenarnya sering gugup. Murid ajarnya terlalu tergantung pada kunci jawaban, rawan berbuat curang, mempunyai toleransi rendah dan pada akhirnya tidak memahami apa2.

Agama ini tidak diakui Indonesia dan Dinas Pendidikan sedang (setengah hati) berusaha untuk menghilangkan penganut agama ini dari anggotanya (walaupun kadang secara tak langsung sang Dinas menganjurkan perlakuan semacam ini), tapi tetap saja banyak penganut di kalangan guru.

Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Atau Pengajaran?

Apa sih sebenarnya tujuan sekolah?

Kalau tujuan resminya adalah mengajar anak - bukan mendidik, kata guru kewarganegaraanku, karena mengajar itu lebih susah daripada mendidik (atau kebalik ya?).

Mengajar itu adalah membantu murid memahami pelajaran, moral, nilai-nilai sosial dan segudang idealisme-idealisme bullshit lainya, dengan harapan bahwa dengan mengajarkan idealisme-idealisme ini, murid-murid akan menjalankan negara berdasarkan idealisme itu.

Mendidik adalah mencekoki murid dengan pelajaran, moral, nilai sosial dan 30 gudang idealisme bullshit lainya (yang tidak dilaksanakan guru) dengan memaksa murid untuk menghabiskan 7 + 3 jam di rumah setiap harinya menghafal berbaris-baris kata, duduk anteng (sampai tertidur dan udunen) dan mendengarkan ceramah-ceramah monoton guru. Harapanya adalah bahwa murid menjalankan kehidupan dan negara dengan pedoman pengalaman sosial selain idealisme

Indoktrinisasi adalah memaksa murid, dibawah ancaman siksa neraka, untuk menghabiskan 10 jam sehari duduk anteng, menghafal bervolum-volum buku, minum jus hasil blenderan buku dan melihat guru, bukanya berceramah, tapi dandan. Idealismenya bertambah menjadi sekitar 70 gudang, dan idealisme-idealisme ini tidak hanya tidak dilaksanakan guru, tetapi senantiasa disalahgunakan oleh guru untuk menyiksa muridnya. Harapan adalah bahwa murid berubah menjadi robot dan cepat lulus dengan nilai baik.

Ada beribu-ribu sekolah di Indonesia, tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Ada berjuta-juta murid yang menghadiri sekolah-sekolah tersebut. Saya kira sedikit dari sekolah-sekolah tersebut yang melakukan 'pengajaran'. Kebanyakan melakukan 'pendidikan' dan sebagian melakukan pseudo-indoktrinasi.

Perbedaan

  • Salah satu perbedaan yang jelas antara mengajar dan mendidik adalah bahwa mengajar itu membantu murid memahami dan bukan hanya menghafalkan. Ini berlaku bagi semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran seperti Kewarganegaraan dan IPS. Anda bisa saja hafal semua kejadian-kejadian Perang Dunia Kedua, tetapi tidak paham mengapa kejadian-kejadian tersebut terjadi.

Apa yang menyebabkan Hitler, saat belum tuntas menghabisi Inggris, untuk berbalik ke Russia? Apa yang menyebabkan Hitler, pada saat puncak kemenangan Rommel, untuk malah tidak mengirimkan bantuan tambahan? Apa yang menyebabkan Hitler memutuskan untuk mengepung Leningrad, bukan langsung menyerangnya?
Guru Sejarah di sekolah saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya mengutip buku - yang tentunya tidak berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan spekulatif tersebut. Atau, yang paling parah, menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan diatas bodoh. Tidak ada usaha mengupdate informasi. Tidak ada usaha menjawab pertanyaan 'Mengapa?'

  • Perbedaan lain adalah bahwa metode 'pengajaran' itu bervariasi, sedangkan 'mendidik' itu terlalu terpaku di kelas. Pelajaran keluar paling hanya olahraga.
Metode utama 'mendidik' (dan mengindoktrinisasi) murid adalah memaksa mereka menghafalkan, biasanya dengan paksaan 'Ulangan'. Menghafalkan itu ibaratnya memaksakan berpiring-piring makanan ke mulut murid. Mungkin saat ini dapat ditahan didalam, tetapi bila lari-lari dikit ato bahkan gerak sedikit - HOEK! - hafalanya hilang dalam sekejap. Ini bisa dengan metode ceramah-berjam-jam atau membaca-buku-dari-halaman-sekian-sampai-sekian. Murid dipaksa duduk anteng di kelas - padahal salah satu indikasi bahwa murid itu aktif adalah bahwa mereka ribut. Anteng itu kebanyakan hanya agar murid nanti nggak tanya ke guru. Dengan cara ini, pelajaran masuk lewat satu telinga dan keluar lewat bokong - langsung kebawah tanpa melewati otak.

  • Tapi menurut saya perbedaan yang paling jelas adalah bahwa 'mengajar' itu berhasil membangkitkan rasa ingin tahu murid. Murid aktif-lah, kalau dalam eksperimen murid mendekat ke apparatus dan bilang 'Wuih' atau sejenisnya. Walaupun hanya berlangsung sebentar, sebagian murid akan ingin tahu lebih (kayaknya hampir keniscayaan deh, semua murid di kelas jadi ingin tahu lebih tentang pelajaran yang diajarkan).
Mendidik, walaupun kadang-kadang membangkitkan rasa ingin tahu, kebanyakan cuma membaca buku atau mendengar guru membaca buku. Kecuali beberapa anak yang bener-bener seneng dengan pelajaran tersebut, kebanyakan murid akan menganggap pelajaran tersebut nggak penting. Hasilnya? Murid ribut tentang hape atau ece-ecean nama bapak.

Mengajar adalah langkah pertama mewujudkan masyarakat Indonesia yang kritis (Halah, gantian saya yang mengeluarkan slogan idealisme) dan bisa mewujudkan paling sedikit beberapa artikel idealisme-idealisme yang diajarkan. Sayang hanya sedikit sekolah yang mempraktekkan atau bahkan berusaha mempraktekkan.