Sabtu, 25 April 2009

Answerkeyism - Agama Kunci Jawaban

education
Suatu saat setelah ulangan, teman saya menanyakan kepada guru Seni Rupa :
"Bu, kok jawaban saya disalahkan?"

Guru Seni Rupa lantas menjawab :
"Memang begitu kok mas. Di kunci jawabanya nggak ada jawaban begitu."

Teman saya membalas :
"Memang Bu, tetapi bukankah Batik adalah salah satu contoh kebudayaan Indonesia yang mendunia?"
Jawaban guru :
"Tapi nggak ada di kunci jawaban dan juga nggak ada di buku. Jawabanya cuma 2, Lagu Rasa Sayange atau Gamelan."

Memang, di LKS tidak tercantum apa-apa tentang Batik sebagai 'Kebudayaan Indonesia yang Mendunia' - saya rasa editor kunci dan LKS hanya mencantumkan 2 contoh agar pembaca mendapat gambaran tentang kebudayaan apa saja yang 'mendunia' dan bukan dimaksudkan sebagai satu-satunya (dua-duanya?) jawaban. Sayangnya, sebagian guru berpikiran sempit di sekolah saya (dan saya rasa, sebagian guru berpikiran sempit di seluruh Indonesia).

Inilah yang saya sebut
'Agama' Kunci Jawaban, atau tepatnya, kultus Kunci Jawaban.
Seperti hampir semua agama (dan kultus), agama Kunci Jawaban mempunyai suatu figur Tuhan - tidak lain dari Kunci Jawaban yang dikasih kepada guru oleh pembuat buku, dan yang kadang terselip di halaman belakang LKS. Sepertinya editor buku/ kunci jawaban tidak bermaksud kunci jawabanya dijadikan semacam Tuhan, tapi begitulah agama Kunci Jawaban. Heh, mendewakan sesuatu yang seharusnya tidak didewakan.


Dan, agama ini mempunyai Doktrin - 'The Way of the Kunci Jawaban' :
  1. Kunci Jawaban mempunyai monopoli kebenaran, dan monopoli jawaban benar. Semua jawaban selain yang tercantum di kunci jawaban adalah Bid'ah - Inggrisnya 'Heresy' - dan tentunya salah.
  2. Penganut Agama Kunci Jawaban mempunyai 2 kitab yang sah, Kunci Jawaban murni (Versi Raja Koplak) dan Kunci Jawaban dari buku (LKS dsb.). Masih ada perdebatan tentang mana yang lebih benar, tetapi mayoritas penganut mengakui Kunci Jawaban Versi Raja Koplak adalah yang paling benar. Bila suatu soal tidak memiliki jawaban di satu kitab, cari di kitab lain. Kedua Kunci Jawaban senantiasa diupdate mengikuti soal tapi sering terjadi konflik antara kedua kitab tersebut.
  3. Penganut agama Kunci Jawaban wajib mengoreksi semua soal berdasarkan kitab Kunci Jawaban. Penganut agama Kunci Jawaban juga wajib membujuk orang lain untuk melakukan hal yang sama. Untuk pertunjuk mengoreksi, ikuti doktrin no. 1
  4. Penganut agama Kunci Jawaban dilarang keras memikirkan alternatif jawaban selain yang ada di kunci jawaban. Ini adalah Bid'ah yang hukumanya paling parah.
  5. Penganut agama Kunci Jawaban wajib membungkam semua yang memikirkan alternatif jawaban dan semua yang tidak mengikuti agama Kunci Jawaban.

Penganut Agama Kunci Jawaban percaya bahwa agama mereka akan memberikan pemahaman sempurna tentang dunia kepada murid mereka. Buktinya, banyak murid yang berhasil menempuh ujian setelah membaca Kitab mereka (OOC : ini namanya 'Circular Reasoning'). Karena Kunci Jawaban mereka sudah memberikan semua jawaban, untuk apa cari jawaban lain? Lagipula, agama Kunci Jawaban melarang pikiran alternatif. Orang yang tidak mengikuti agama Kunci Jawaban akan tersesat karena banyaknya alternatif jawaban yang ada.

Soal yang paling sering diberikan oleh para penganut Agama Kunci Jawaban adalah soal ABC-an. Mungkin sang Penganut akan memberikan soal isian, tetapi ini hanyalah soal ABC-an tanpa ABC-an. Jawaban isian tersebut harus persis seperti jawaban ABC-an yang relevan.

Pada prakteknya, agama Kunci Jawaban membatasi 'free thinking', menekankan pada hafalan dan sangat rawan kecurangan. Orang-orang penganutnya kebanyakan kolot, tidak imajinatif, mempunyai toleransi rendah dan bila dihadapkan kepada persoalan sebenarnya sering gugup. Murid ajarnya terlalu tergantung pada kunci jawaban, rawan berbuat curang, mempunyai toleransi rendah dan pada akhirnya tidak memahami apa2.

Agama ini tidak diakui Indonesia dan Dinas Pendidikan sedang (setengah hati) berusaha untuk menghilangkan penganut agama ini dari anggotanya (walaupun kadang secara tak langsung sang Dinas menganjurkan perlakuan semacam ini), tapi tetap saja banyak penganut di kalangan guru.

Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Atau Pengajaran?

Apa sih sebenarnya tujuan sekolah?

Kalau tujuan resminya adalah mengajar anak - bukan mendidik, kata guru kewarganegaraanku, karena mengajar itu lebih susah daripada mendidik (atau kebalik ya?).

Mengajar itu adalah membantu murid memahami pelajaran, moral, nilai-nilai sosial dan segudang idealisme-idealisme bullshit lainya, dengan harapan bahwa dengan mengajarkan idealisme-idealisme ini, murid-murid akan menjalankan negara berdasarkan idealisme itu.

Mendidik adalah mencekoki murid dengan pelajaran, moral, nilai sosial dan 30 gudang idealisme bullshit lainya (yang tidak dilaksanakan guru) dengan memaksa murid untuk menghabiskan 7 + 3 jam di rumah setiap harinya menghafal berbaris-baris kata, duduk anteng (sampai tertidur dan udunen) dan mendengarkan ceramah-ceramah monoton guru. Harapanya adalah bahwa murid menjalankan kehidupan dan negara dengan pedoman pengalaman sosial selain idealisme

Indoktrinisasi adalah memaksa murid, dibawah ancaman siksa neraka, untuk menghabiskan 10 jam sehari duduk anteng, menghafal bervolum-volum buku, minum jus hasil blenderan buku dan melihat guru, bukanya berceramah, tapi dandan. Idealismenya bertambah menjadi sekitar 70 gudang, dan idealisme-idealisme ini tidak hanya tidak dilaksanakan guru, tetapi senantiasa disalahgunakan oleh guru untuk menyiksa muridnya. Harapan adalah bahwa murid berubah menjadi robot dan cepat lulus dengan nilai baik.

Ada beribu-ribu sekolah di Indonesia, tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Ada berjuta-juta murid yang menghadiri sekolah-sekolah tersebut. Saya kira sedikit dari sekolah-sekolah tersebut yang melakukan 'pengajaran'. Kebanyakan melakukan 'pendidikan' dan sebagian melakukan pseudo-indoktrinasi.

Perbedaan

  • Salah satu perbedaan yang jelas antara mengajar dan mendidik adalah bahwa mengajar itu membantu murid memahami dan bukan hanya menghafalkan. Ini berlaku bagi semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran seperti Kewarganegaraan dan IPS. Anda bisa saja hafal semua kejadian-kejadian Perang Dunia Kedua, tetapi tidak paham mengapa kejadian-kejadian tersebut terjadi.

Apa yang menyebabkan Hitler, saat belum tuntas menghabisi Inggris, untuk berbalik ke Russia? Apa yang menyebabkan Hitler, pada saat puncak kemenangan Rommel, untuk malah tidak mengirimkan bantuan tambahan? Apa yang menyebabkan Hitler memutuskan untuk mengepung Leningrad, bukan langsung menyerangnya?
Guru Sejarah di sekolah saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya mengutip buku - yang tentunya tidak berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan spekulatif tersebut. Atau, yang paling parah, menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan diatas bodoh. Tidak ada usaha mengupdate informasi. Tidak ada usaha menjawab pertanyaan 'Mengapa?'

  • Perbedaan lain adalah bahwa metode 'pengajaran' itu bervariasi, sedangkan 'mendidik' itu terlalu terpaku di kelas. Pelajaran keluar paling hanya olahraga.
Metode utama 'mendidik' (dan mengindoktrinisasi) murid adalah memaksa mereka menghafalkan, biasanya dengan paksaan 'Ulangan'. Menghafalkan itu ibaratnya memaksakan berpiring-piring makanan ke mulut murid. Mungkin saat ini dapat ditahan didalam, tetapi bila lari-lari dikit ato bahkan gerak sedikit - HOEK! - hafalanya hilang dalam sekejap. Ini bisa dengan metode ceramah-berjam-jam atau membaca-buku-dari-halaman-sekian-sampai-sekian. Murid dipaksa duduk anteng di kelas - padahal salah satu indikasi bahwa murid itu aktif adalah bahwa mereka ribut. Anteng itu kebanyakan hanya agar murid nanti nggak tanya ke guru. Dengan cara ini, pelajaran masuk lewat satu telinga dan keluar lewat bokong - langsung kebawah tanpa melewati otak.

  • Tapi menurut saya perbedaan yang paling jelas adalah bahwa 'mengajar' itu berhasil membangkitkan rasa ingin tahu murid. Murid aktif-lah, kalau dalam eksperimen murid mendekat ke apparatus dan bilang 'Wuih' atau sejenisnya. Walaupun hanya berlangsung sebentar, sebagian murid akan ingin tahu lebih (kayaknya hampir keniscayaan deh, semua murid di kelas jadi ingin tahu lebih tentang pelajaran yang diajarkan).
Mendidik, walaupun kadang-kadang membangkitkan rasa ingin tahu, kebanyakan cuma membaca buku atau mendengar guru membaca buku. Kecuali beberapa anak yang bener-bener seneng dengan pelajaran tersebut, kebanyakan murid akan menganggap pelajaran tersebut nggak penting. Hasilnya? Murid ribut tentang hape atau ece-ecean nama bapak.

Mengajar adalah langkah pertama mewujudkan masyarakat Indonesia yang kritis (Halah, gantian saya yang mengeluarkan slogan idealisme) dan bisa mewujudkan paling sedikit beberapa artikel idealisme-idealisme yang diajarkan. Sayang hanya sedikit sekolah yang mempraktekkan atau bahkan berusaha mempraktekkan.

Selasa, 14 April 2009

Indonesia - The (Nearly) Real Deal

Wanna know more about Indonesia? You can visit Wikipedia - or for a look closer to reality (It really is!) - look no further

Senin, 13 April 2009

Pengenalan Dikit...

Blog ini bertujuan menunjukkan kekurangan-kekurangan paling 'kentara' (i.e. jelas terlihat) di pendidikan Indonesia - yang udah lumayan bobrok ini. Dan mencoba memberikan koreksi.

Ini ditulis dari prespektif anak ingusan yang belajar di salah satu sekolah negeri di Indonesia (sekolahnya secara lokal sih cukup terkenal... he..heh) - jadi belum tentu obyektif, tetapi saya usahakan se-obyektif mungkin. Kritikanya off the top of my head - jadi tidak dalam urutan apapun.


Sabtu, 11 April 2009

Introduction

(Indonesians can skip this. I mean, who needs a different take on Indonesia? Its like the speed of light. Besides, its in Engrish)

Is it stupid to write long rambling texts like these? In English - on an Indonesian blog? This will be a mainly Indonesian blog, though I will add English translation of the entries

Pardon my ungrammatical English! :D

This blog is about the quality of Indonesian education, or lack of it. It's from the POV of a student attending state education - he is not in college yet.

Indonesia is a 3rd world country that, although being the 4th most populated (Heh, they never seem to list Indonesia - they only list the top 3), is quite obscure. One of the last times Indonesia gained widespread international attention was, ironically, at the time of the 2004 Tsunami. Since then, you could only find news on Indonesia after some vigorous searching.

Like most 3rd world countries, Indonesia is not exactly the 'tropical island heaven!1!!1!' most tourists search for.
If you have the luck of visiting Indonesia, scratch the surface. Look around, beyond the confines of the beautiful beaches and hotels. If you can stand the heat, take the traditional mode of transport - walking. You can't fail to notice the poverty, the constant panhandling, the politics (as of April-July, General Election fever is still running high), trash and general 3rd worldliness - most of Indonesia's beauty is only skin deep (or, in fact, shallower). You can actually see the material incarnation of poverty here - a permanent, heavy fog, clouding up most people's eyes. Even their laughter is heavy and restricted - like the whole country is on a rationing program of happiness. The general mood of pessimism is so pronunced, you can feel it weighing on your shoulders, if you venture out to the right places.

Hey, if Obama can experience the 'true' Indonesia, there's no reason why you can't!

Or, from the comfort of your own home, read Carl Sagan's "The Demon Haunted World : Science As A Candle In The Dark". Specifically, read his critique of the American educational system. From his POV, the American educational system doesn't encourage critical thinking, science education, skepticism and a whole myriad of other stuff essential to vanquishing the afromentioned demons. I expect its better now.

Now, picture a Darker and Edgier version of this state of education - the same level of Grimdark present in the Warhammer 40K worlds.

A place where widespread critical thinking is a relic of the long gone past - present only in idealized school textbooks, musty old tomes and the odd tourism brochure. Critical thinking doesn't even exist in everyday nomenclature. Most Indonesians consider widespread critical thinking to be an outdated idealism - similar to the purely Communist state. Skepticism is actively eroded by the deluge of ads (political and non-political) which asks the viewer to accept whatever they are offering without question. Argument from Authority is the rule. In fact, in some aspects, skepticism is synonymous with 'heretical'.

Questions are not answered, at best they are merely rephrased and shoven back to the asker. Anyway, only the awkward question. Science education merely consists of memorizing long strings of text, which are often meaningless to the reader. This castrates the main motivation of science - wonder. There is an ever watchful Inquisition - in the form of peer pressure - that hacks potential intellectuals like hot lightsabers through saplings. Students don't just cheat... They cheat with dignity. Education here actually encourages (though mostly indirectly) students to cheat. Great cheaters are like demigods.

Generally, education is memorizing and reciting by heart whole volumes of text. Understanding is of tertiary importance - as long as you have adequate grades/ marks, they'll never question how you got them, or whether you understand what you're supposed to. People with good (i.e. above 80) marks, are labelled as geeks and left to wither on the vine. The whole purpose of education is not to understand the world, but merely to acquire pieces of paper, incorrectly labelled as 'degrees'. Heck, if they can get away with it, some students would run off to degree mills.

Sadly, that's the current state of Indonesian education - dictating with it Indonesia's mindset. Of course, in reality, its a bit better than that. A bit. The danger posed by the extreme gullibility of Indonesians, if left unchecked, is apparent. This phenomenon proves just how gullible some Indonesians are (perhaps making the Placebo Effect greater?). If, in the near future, some Jim Jones-esque charlatan swoops here and manages to make a cult, its quite easy to imagine that something akin to an Indonesian Jonestown Massacre could happen.

Fortunately, amazingly perhaps, there's a fair number of people who aren't as gullible as the rest. I hope to find lots more of them in college - there's some in normal society, but they are often reclusive - or have ascended to a higher strata of community (read : they are secluded to Universities and underground Intellectual clubs) - or have ascended to a Higher Strata in the other sense.

This blog is an effort to point out some of the major failings of Indonesia's educational system (from the viewpoint of a student) - in the hope that some future administration could correct them (General Election is going to be held in 3 month's time) The advantage is, Indonesia is still a developing country. It managed to somehow survive (as of this year) the economic crisis - with a growing economy. Education is, of course, lower in priority than the general concern of keeping the country from bankruptcy.

So, what does the foreign reader get? Maybe that 'feel-good-feeling' that happens because you know your country's education system is not stuck in the 19th century. Or maybe you can find faults in YOUR education system - and correct them so that Carl Sagan's 'prophecy' doesn't happen. That kind of stuff.