Sabtu, 09 Mei 2009

Tugas dan PR 'Padding'

Tugas adalah, secara lebar, segala sesuatu yang diberikan guru kepada murid untuk dikerjakan di sekolah. Semua yang diperintahkan oleh guru untuk dikerjakan murid - dari menyapu, berhenti bicara sendiri, istirahat - adalah tugas. Tugas ini harus dikerjakan murid secara tuntas -atau sesuai keinginan guru - lalu murid wajib melapor ke guru dan memperlihatkan hasil tugas. Tugas Sekolah adalah tugas yang harus dilakukan di sekolah dan biasanya berhubungan dengan pelajaran. PR adalah tugas sekolah yang dikerjakan di rumah.

Tugas Sekolah biasanya diberikan untuk menguji murid tentang suatu pelajaran dan memperlebar pemahaman murid, serta sekalian untuk belajar. Untuk mengerjakan PR dan Tugas, bukankah murid harus membaca buku?

Ada 2 cara utama guru menyalahi fungsi tugas dan PR, dalam entri ini akan dibahas mengenai 'Tugas Padding'.

Tugas Padding
/ Tugas Filler



Guru menggunakan tugas hanya sebagai 'filler' atau dalam istilah film, 'padding'.

Padding adalah teknik dimana seorang produser memasukkan atau memanjangkan suatu adegan yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan, dan/ atau tidak penting bagi alur cerita. Misalnya, seorang produser memasukkan gambar gunung untuk terlalu lama atau adegan bicara yang sebenarnya tak perlu dan berjalan lama. Ini tujuanya agar filmnya atau produksinya itu jadi lama, atau memenuhi quota waktunya. Di Indonesia, alat 'padding' paling efektif adalah iklan. Saya pernah melihat suatu film yang sebenarnya hanya sekitar 40 menitan, tapi menjadi 1 jam karena iklan.

Bagi sebagian guru, tugas sekolah adalah padding yang paling baik. Tugas atau PR ini tidak penting bagi 'alur' pendidikan. Quotanya adalah jam pelajaran, atau dalam konteks PR, quotanya adalah 'Jumlah PR yang Harus Diberikan/ Semester' (Biasanya banyak PR ini yang diberikan menjelang atau sesudah Ujian Semester). Alokasi jam pelajaran standar untuk satu pelajaran dalam sekolah saya adalah sekitar 45 x 2 menit.

Untuk pelajaran 'sampingan' seperti TIK, Seni Rupa dan Seni Musik, alokasinya 45 menit. Guru mau tidak mau harus memenuhi quota ini, dan bukanya menerangkan lebih lanjut, malah memberi tugas padding. Guru lalu biasanya melakukan sesuatu yang baginya mengisi waktu, seperti main HP. Guru Seni Rupa saya sering memberi tugas LKS untuk menghabiskan 30 menit terakhir pelajaran. Malahan, salah satu guru IPA di sekolah saya hanya memberikan tugas, tidak pernah mengajar. Di kelas, gurunya dandan dan main HP. DANDAN DAN MAIN HP. Contoh terakhir adalah penyalahgunaan tugas yang paling biadab!

Ciri Tugas Padding

- Seringkali, tugas-tugas padding ini membutuhkan waktu penggarapan yang sangat panjang. Misalnya, mengerjakan suatu tugas yang menyuruh untuk me-list semua alasan mengapa kau menyukai X, atau me-list semua yang telah kamu lakukan hari ini yang kemungkinan bernilai artistik. Atau mengerjakan buku halaman sekian-sampai-sekian. Ini bukan ciri mutlak, banyak tugas biasa yang panjang tapi bukan tugas padding.

- Tugas adalah Tugas 'Fotokopian'. Tugas ini hanya mewajibkan murid untuk menyalin data. Misalnya, 'Sebutkan 3 ciri Sistem Politik Sosialisme!' dan ciri tersebut harus berasal dari buku, maka secara otomatis yang dilakukan murid hanya memfotokopi bagian buku ke bagian yang lain. Terutama pada guru penganut Agama Kunci Jawaban versi fundamental. Ini juga berlaku untuk PR. Tugas macam ini tidak mengajari murid apa-apa, karena yang perlu dilakukan murid hanya menyalin tanpa berpikir.

- Tugas diberikan pada akhir jam pelajaran. Atau pada tengah jam pelajaran, lalu guru mondar-mandir diluar atau main HP - Sibuk Sendiri. Namanya juga padding.

- Guru tidak merespons bila ditanyakan tentang tugas atau hanya mengatakan "Lihat di Buku!" atau variasinya.

- Tugas tidak dinilai, atau pada pelajaran berikutnya dinilai tetapi 'nilainya nggak dimasukin karena mengecewakan'. Dalam versi PR, PR tidak disuruh ditumpuk, atau ditumpuk lalu tidak dikoreksi. Variasi lain adalah tugasnya dikoreksi hanya dengan menandatangani buku atau halaman.

Tugas Padding itu sangat tidak perlu dan menghabiskan waktu. Tugas Padding tidak memajukan pemahaman murid, karena intinya hanya menyalin. Lebih bagus guru menerangkan sesuatu (bahkan yang tidak berhubungan dengan pelajaran) untuk mengisi waktu luang.

Lagipula, banyak murid yang tahu tugas mana yang tugas padding, dan hasilnya tugas tersebut tidak diggarap dengan baik, atau bahkan tidak diggarap sama sekali. Bila guru memberikan terlalu banyak tugas padding, maka murid akan menganggap semua tugas adalah tugas padding dan tidak menggarap semua tugas dengan serius.

Sabtu, 02 Mei 2009

Pertanyaan Anda... Bodoh!

Carl Sagan dalam bukunya 'The Demon Haunted World : Science as a Candle In The Dark' mengatakan :
Every now and then, I'm lucky enough to teach a kindergarten or firstgrade class. Many of these children are natural-born scientists - although heavy on the wonder side and light on scepticism. They're curious, intellectually vigorous. Provocative and insightful questions bubble out of them. They exhibit enormous enthusiasm...

But when I talk to high school seniors, I find something different. They memorize `facts'. By and large, though, the joy of discovery, the life behind those facts, has gone out of them. They've lost much of the wonder, and gained very little scepticism... they're willing to accept inadequate answers...
(Kadang, saya mendapat kesempatan untuk mengajar anak TK atau anak Kelas 1. Banyak dari anak-anak ini adalah ilmuwan alami - mereka gampang kagum, meski skeptisisme mereka agak sedikit. Mereka rasa ingin tahunya besar. Mereka menanyakan pertanyaan - pertanyaan yang 'dalam' dan mencerminkan rasa ingin tahu mereka. Mereka menunjukkan antusiasme yang besar.

Tetapi, ketika saya berbicara dengan anak SMA senior, saya menemukan sesuatu yang beda pada mereka. Mereka menghafal fakta, tetapi kebanyakan kekaguman mereka terhadap fakta tersebut sudah hilang dan skeptisisme mereka tak bertambah. Keingintahuan mereka sudah habis. Mereka sudi menerima jawaban yang tidak jelas.)

Carl Sagan lalu menanyakan apa yang terjadi diantara TK dan SMA, yang bisa menghilangkan keingintahuan dan kekaguman mereka terhadap ilmu. Salah satu penyebabnya adalah konsep 'Pertanyaan Bodoh'.

Pertanyaan Bodoh adalah konsep yang dianut sebagian guru, juga sebagian orang tua bahwa sebagian pertanyaan yang diajukan anak, terutama yang kelihatan simpel (i.e. mengapa bumi bulat? atau apa arti kata X?) itu 'bodoh' dan tidak patut dijawab dengan jawaban yang memuaskan. Ini, kata mereka yang menganut konsep ini, adalah cara untuk medidik anak agar tidak mempermalukan diri mereka. Masyarakat Indonesia memang tidak senang menjawab 'Pertanyaan Bodoh', tetapi sebagian masyarakat dunia mengorbankan banyak waktu dan uang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sepele tersebut.

Masalahnya adalah bahwa semua pertanyaan adalah ungkapan keingintahuan, termasuk pertanyaan bodoh.
Bila seorang guru menjawab pertanyaan dengan cara yang offhand - misalnya dengan mengatakan "Pertanyaanya si X bodoh!" (biasanya diikuti gelak tawa siswa lain) atau variasinya (eg. "Emangnya Bumi mau kotak apa?") - maka secara langsung si guru telah mengikis rasa ingin tahu semua murid di kelas dengan membatasi apa yang bisa ditanyakan dan menanamkan bahwa bertanya adalah suatu 'blunder' sosial. Pertanyaan tersebut dan pertanyaan serupa seterusnya dilabel sebagai 'pertanyaan bodoh' dan orang yang menanyakan adalah bodoh pula. Murid menjadi takut menanyakan sesuatu karena takut dilabelkan murid bodoh. Rasa keingintahuan yang rendah jelas sangat menghambat proses belajar - terutama diskusi.

Masalah lain adalah batasan pertanyaan mana yang dianggap bodoh.
Sebagian guru menganggap pertanyaan yang jawabanya simpel dan seharusnya sudah diketahui murid itu bodoh - tetapi kadang murid yang menanyakan pertanyaan tersebut kurang jelas atau ingin jawabanya dikembangkan. Lagipula, sebagian pertanyaan yang dianggap bodoh sebenarnya jawabanya sangat kompleks, bahkan belum diketahui. Mengapa rumput hijau? Karena klorofil. Tapi mengapa tumbuhan punya kloro-(hijau) fil, bukan punya merahfil? Pertanyaan anda bodoh.

Yang paling parah adalah guru-guru yang menganggap semua pertanyaan yang jawabanya tidak diketahui mereka sendiri adalah pertanyaan bodoh. Mereka melontarkan mantra sakti "Pertanyaan Anda Bodoh" sebagai pelindung ego mereka sendiri dan alasan untuk tidak mencari jawaban yang benar atas pertanyaan tersebut. Guru macam ini kebanyakan juga penganut agama Kunci Jawaban dan pemercaya bahwa guru itu semacam 'ras terpilih' yang tidak boleh, tidak bisa salah. Bukankah pandangan ini sudah dihilangkan sejak Orde Baru runtuh? Guru boleh salah. Guru juga manusia. Tindakan guru menutup-nutupi ketidaktahuanya dengan retorika 'Pertanyaan Bodoh' adalah tindakan usang dan malah menurunkan rasa hormat murid terhadap guru.

Saya rasa bahwa semua pertanyaan yang diajukan murid harus dijawab guru, betapapun bodohnya. Guru bisa menjelaskan setahu mereka, dengan tambahan "Setahu saya..." agar murid paham bahwa ini bukan jawaban terakhir, dan kemungkinan terpacu untuk mencari jawaban lebih lengkap. Atau guru bisa mengatakan secara jujur "Saya tidak tahu" kalau bisa, juga menambahkan "Nanti saya cari di buku referensi".

Kata Carl Sagan :
There are naive questions, tedious questions, ill-phrased questions,
questions put after inadequate self-criticism. But every question is a cry to
understand the world. There is no such thing as a dumb question.

Dan saya setuju dengan dia.