Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Atau Pengajaran?

Apa sih sebenarnya tujuan sekolah?

Kalau tujuan resminya adalah mengajar anak - bukan mendidik, kata guru kewarganegaraanku, karena mengajar itu lebih susah daripada mendidik (atau kebalik ya?).

Mengajar itu adalah membantu murid memahami pelajaran, moral, nilai-nilai sosial dan segudang idealisme-idealisme bullshit lainya, dengan harapan bahwa dengan mengajarkan idealisme-idealisme ini, murid-murid akan menjalankan negara berdasarkan idealisme itu.

Mendidik adalah mencekoki murid dengan pelajaran, moral, nilai sosial dan 30 gudang idealisme bullshit lainya (yang tidak dilaksanakan guru) dengan memaksa murid untuk menghabiskan 7 + 3 jam di rumah setiap harinya menghafal berbaris-baris kata, duduk anteng (sampai tertidur dan udunen) dan mendengarkan ceramah-ceramah monoton guru. Harapanya adalah bahwa murid menjalankan kehidupan dan negara dengan pedoman pengalaman sosial selain idealisme

Indoktrinisasi adalah memaksa murid, dibawah ancaman siksa neraka, untuk menghabiskan 10 jam sehari duduk anteng, menghafal bervolum-volum buku, minum jus hasil blenderan buku dan melihat guru, bukanya berceramah, tapi dandan. Idealismenya bertambah menjadi sekitar 70 gudang, dan idealisme-idealisme ini tidak hanya tidak dilaksanakan guru, tetapi senantiasa disalahgunakan oleh guru untuk menyiksa muridnya. Harapan adalah bahwa murid berubah menjadi robot dan cepat lulus dengan nilai baik.

Ada beribu-ribu sekolah di Indonesia, tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Ada berjuta-juta murid yang menghadiri sekolah-sekolah tersebut. Saya kira sedikit dari sekolah-sekolah tersebut yang melakukan 'pengajaran'. Kebanyakan melakukan 'pendidikan' dan sebagian melakukan pseudo-indoktrinasi.

Perbedaan

  • Salah satu perbedaan yang jelas antara mengajar dan mendidik adalah bahwa mengajar itu membantu murid memahami dan bukan hanya menghafalkan. Ini berlaku bagi semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran seperti Kewarganegaraan dan IPS. Anda bisa saja hafal semua kejadian-kejadian Perang Dunia Kedua, tetapi tidak paham mengapa kejadian-kejadian tersebut terjadi.

Apa yang menyebabkan Hitler, saat belum tuntas menghabisi Inggris, untuk berbalik ke Russia? Apa yang menyebabkan Hitler, pada saat puncak kemenangan Rommel, untuk malah tidak mengirimkan bantuan tambahan? Apa yang menyebabkan Hitler memutuskan untuk mengepung Leningrad, bukan langsung menyerangnya?
Guru Sejarah di sekolah saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya mengutip buku - yang tentunya tidak berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan spekulatif tersebut. Atau, yang paling parah, menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan diatas bodoh. Tidak ada usaha mengupdate informasi. Tidak ada usaha menjawab pertanyaan 'Mengapa?'

  • Perbedaan lain adalah bahwa metode 'pengajaran' itu bervariasi, sedangkan 'mendidik' itu terlalu terpaku di kelas. Pelajaran keluar paling hanya olahraga.
Metode utama 'mendidik' (dan mengindoktrinisasi) murid adalah memaksa mereka menghafalkan, biasanya dengan paksaan 'Ulangan'. Menghafalkan itu ibaratnya memaksakan berpiring-piring makanan ke mulut murid. Mungkin saat ini dapat ditahan didalam, tetapi bila lari-lari dikit ato bahkan gerak sedikit - HOEK! - hafalanya hilang dalam sekejap. Ini bisa dengan metode ceramah-berjam-jam atau membaca-buku-dari-halaman-sekian-sampai-sekian. Murid dipaksa duduk anteng di kelas - padahal salah satu indikasi bahwa murid itu aktif adalah bahwa mereka ribut. Anteng itu kebanyakan hanya agar murid nanti nggak tanya ke guru. Dengan cara ini, pelajaran masuk lewat satu telinga dan keluar lewat bokong - langsung kebawah tanpa melewati otak.

  • Tapi menurut saya perbedaan yang paling jelas adalah bahwa 'mengajar' itu berhasil membangkitkan rasa ingin tahu murid. Murid aktif-lah, kalau dalam eksperimen murid mendekat ke apparatus dan bilang 'Wuih' atau sejenisnya. Walaupun hanya berlangsung sebentar, sebagian murid akan ingin tahu lebih (kayaknya hampir keniscayaan deh, semua murid di kelas jadi ingin tahu lebih tentang pelajaran yang diajarkan).
Mendidik, walaupun kadang-kadang membangkitkan rasa ingin tahu, kebanyakan cuma membaca buku atau mendengar guru membaca buku. Kecuali beberapa anak yang bener-bener seneng dengan pelajaran tersebut, kebanyakan murid akan menganggap pelajaran tersebut nggak penting. Hasilnya? Murid ribut tentang hape atau ece-ecean nama bapak.

Mengajar adalah langkah pertama mewujudkan masyarakat Indonesia yang kritis (Halah, gantian saya yang mengeluarkan slogan idealisme) dan bisa mewujudkan paling sedikit beberapa artikel idealisme-idealisme yang diajarkan. Sayang hanya sedikit sekolah yang mempraktekkan atau bahkan berusaha mempraktekkan.

1 komentar:

ICT class' blog mengatakan...

wow, kren artikrlna
dpet ide dri mna??